top of page
  • repost

Catatan Pasca Perang -Jejak Langkah Salah Seorang Sipil I


TANAKA Yukitoshi

Lahir di Tokyo

Tenaga kontrak di Koperasi Kontrol Besi Tua Kawasan Selatan (Nanpo Kuzutetsu Tosei Kumiai)

20 Oktober 1907-(per Nov 2004), 97 tahun

Setelah bergabung dalam Perang Kemerekaan di Yogyakarta, Jawa, Tanaka pernah bertugas sebagai pengelola wisma peristirahatan tentara, bekerja di Hotel Ambarukmo, dan saat ini mengelola losmen di Kaliurang.

Salah satu dari 230 anggota yang terdaftar di YWP




Jurnal bulanan No.70 Edisi Februari 1988

Catatan Pasca Perang -Jejak Langkah Salah Seorang Sipil I-



Pada bulan Juni 1942, saya memutuskan berangkat dari Jepang untuk bertugas sebagai tenaga kontrak di Koperasi Kontrol Besi Tua Kawasan Selatan, karena “jika memang harus bertugas demi negara”, memilih di kawasan selatan saja, dimana dengan memiliki ambisi pemuda bersimpati pada doktrin ekspansi selatan yang sedang panas-panasnya dikemukakan sebelum Jepang berniat invasi ke Benua China.


Walaupun tanpa tanda pangkat, tampang saya bermartabat dengan seragam tentara, Diberi semangat dengan kata “Jangan sampai berpikir bisa kembali dengan selamat”, lalu dengan penuh semangat saya berangkat dengan naik kapal dari Pelabuhan Ujina. Kecepatan kapal sangat lambat karena kapal saya yang dikawal kapal perusak melaju zigzag untuk menghindari serangan torpedo dari kapal selam. Apalagi di Laut Cina Selatan, kapal harus berlabuh dan menunggu waktu di laut lepas di Saint Jacques akibat angin kencang sehingga memakan waktu 2.5 bulan sampai tiba di Singapura. Sebelumnya kapal Taiyo Maru telah berangkat pada bulan Mei, tetapi kemudian ditenggelamkan oleh kapal selam di laut lepas Goto, maka saya pindah kapal di Singapura dengan mendoakan “mudah-mudahan kapal saya sampai tujuan dengan selamat”, dan akhirnya tiba di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada pertengahan Agustus.


Tentara Jepang yang telah menempati pulau Jawa telah pindah lokasi sehingga tidak ada siapapun di pelabuhan. Maka, langkah pertama saya di Indonesia yang seharusnya mengharukan setelah ditunggu-tunggu sekian lama ternyata menyisakan kesan mengerikan karena suasana sepi.


Pada awalnya tugas saya untuk mengumpulkan besi tua di bawah wewenang pabrik senjata angkatan darat, kemudian merangkap tugas untuk mengumpulkan besi tua untuk perum barang-barang strategis di bawah naungan pemerintahan militer. Tugas saya adalah pengumpulan besi tua dan pasifikasi dengan mencakup wilayah Cirebon, Banyumas dan Priangan. Pabrik senjata memerintahkan saya untuk mengumpulkan puluhan ribu ton besi tua per bulan mulai dari “tiang menara besi sampai pagar besi di pemakaman”, sedangkan pemerintahan militer meminta saya supaya tidak menyinggung perasaan masyarakat dalam pengumpulan besi. Tetapi tugas saya yang harus mengambil besi tua dari pemakaman sangat bertentangan dengan adat Indonesia untuk menjaga makam leluhur dengan baik. Oleh karena itu saya menghadapi kesulitan untuk memenuhi perintah tersebut sehingga seringkali mendapatkan kebencian.


Pada saat posisi Jepang terdesak dalam perang, semakin sulit pengumpulan besi tua, karena tidak berlaku kata kunci “demi negara dan bangsa” di Indonesia. Tetapi saya berusaha sekuat tenaga demi kaisar walaupun harus menghadapi ujaran kebencian dan gangguang terutama dari orang Indonesia yang memihak Belanda.


Kemudian saya mendapati hari penentu nasib, tanggal 15 Agustus di Bandung. Kabar bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu, dimana saya juga sudah merasakan “situasi perang rupanya kurang memihak”, tetapi mau percaya juga tidak bisa percaya. Ditambah lagi terdapat desas-desus bahwa “Amerika akan mengambil langkah untuk menghabisi orang Jepang dari bumi”,”Orang Jepang disuruh naik kapal untuk repatriasi tetapi kapalnya ditenggelamkan di tengah perjalanan”. Saya kurang percaya desas-desus seperti itu, tetapi harus melewati hari-hari dengan penuh keresahan menghadapi kenyataan kekalahan perang yang tidak pernah terjadi.

Walaupun belum ada rencana yang jelas, saya meminta istri pulang membawa putri yang masih kecil ke rumah orang tua dan menunggu kabar selanjutnya.


Pada saat itu saya bertugas sebagai ketua tim di bagian pengumpulan besi tua, maka menyuruh rekan-rekan untuk menunggu dan tidak mengambil tindakan gegabah. Kemudian saya berangkat ke Jakarta untuk memastikan fakta. Setelah saya memastikan berakhirnya perang, pemerintahan militer menyuruh “semua orang harus berkumpul di markas logistik militer di Bandung”, maka langsung saya meninggalkan Jakarta untuk kembali ke Bandung.


Dalam perjalanannya, saya sempat ditahan oleh sejumlah orang, entah tentara resmi atau laskar rakyat yang berteriak “Merdeka”. Saya mencoba meyakinkan mereka dengan alasan kenapa saya berada di situ, akhirnya dibebaskan. Sambil merasakan fakta kekalahan perang, saya memikirkan bagaimana nasib saya untuk ke depan dalam perjalanan menuju ke Bandung.

Tak lama kemudian, saya bersama-sama dengan prajurit di pabrik senjata dan pegawai sipil di militer berkumpul di markas logistik militer. Tetapi menunggu-nunggu tidak ada instruksi lebih lanjut sehingga harus melewati beberapa hari yang penuh ketidakpastian karena beredar informasi yang tidak jelas kebenarannya seperti “tidak ada jaminan repatriasi maka masing-masing harus mencari cara untuk pulang ke tanah air”, “orang yang telah menikahi orang lokal diutamakan untuk pulang” dsb.

Mengenang waktu mau berangkat dari Jepang dimana saya diberi semangat dengan berkata “kamu bukan orang militer tetapi demi negara dan bangsa, harus berangkat dengan siap mati”, maka saya berpikir “tidak mungkin saya bisa pulang dengan begitu saja tanpa merasa malu”, sangat menyesal, sedih dan pahit, rasanya sampai jatuh ke dalam jurang. Setelah berpikir-pikir seolah saya berada dalam kegelapan tanpa setitik cahaya yang menerangi, “Baiklah, tinggal mati atau hidup. Tidak bisa prediksi untuk ke depan, tapi coba pikirkan sendiri bagaimana caranya untuk bertahan hidup. Pasti ada caranya”, tekad saya. Pada saat itu semuanya bingung, bimbang dan sibuk mencari solusinya sendiri.


Saya menceritakan pemikiran saya hanya kepada Bpk KISHIH Yoshiya , kepala cabang koperasi, jawabannya “Kalau saya pulang ke Jepang dan mencoba buka usaha. Kamu coba usahakan di sini. Kita tidak tahu antara kita yang mana yang sukses, jadi suatu saat kita kontak satu sama lain dan melakukan usaha bersama”. Dengan demikian, kami berpisah dengan berjanji bertemu kembali.

Kemudian mulai muncul kelompok sesama prajurit/pegawai sipil di militer yang memisahkan diri untuk bergabung di Giyugun, tentara sukarela pembela tanah air. Rekan saya juga mulai ada yang menyarankan kepada saya “Bpk Tanaka adalah orang sipil, jadi lebih aman bersama dengan prajurit”, atau ada juga yang memang mengikuti prajurit.


Sungguh disadari bahwa entah mau kemana, memang harus dipilih dan diputuskan sendiri. Hal tersebut menjadi dasar moto hidup saya yaitu “Tidak merepotkan orang lain dan tidak bergantung dengan orang lain.”


Saya meninggalkan markas logistik militer sendirian, tanpa ada yang bisa saya andalkan. Pada awalnya saya berpikiran simple, “Pergi ke arah pantai saja. Kalau dekat laut, bisa swasembada dengan menangkap ikan favorit saya, dan kalau perlu, bisa lari ke suatu pulau untuk bertahan hidup, asalkan mendapatkan perahu.”


Dalam perjalanan serba tidak menentu dan hampir mau menyerah karena kelaparan dan kelelahan, saya dengar bahwa orang Jepang di Jawa Barat telah berkumpul di Yogyakarta. Kalau ke Yogyakarta, kondisi aman, maka saya berbalik arah dari Siliwangi dan akhirnya tiba di Yogyakarta setelah berjalan kaki selama 17 hari.


Di Yogyakarta, kebetulan saya bertemu dengan Bpk Suryadarma yang sudah kenal sejak sebelum perang. Pada saat itu dia sudah menjadi komandan angkatan udara. “Dikira sudah pulang ke Jepang, kenapa di sini?”tanyanya. “Tidak kenapa-kenapa, saya bingung harus bagaimana.”, saya ceritakan apa yang terjadi selama ini. “Kalau begitu, serahkan kepada saya, markas saya di Solo, jadi datanglah ke Solo.”, kata dia. Setelah itu, dia menyediakan mess pasukan udara di Solo. Sehingga saya dengan keluarga merasa lega menempati tempat tinggal yang disediakan. Walaupun merasa lega, saya berpikir tidak mungkin begitu terus tanpa melakukan apa-apa, harus mencari suatu pekerjaan, tetapi tidak lama kemudian pada Desember 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II.


Situasi tenang tidak berlangsung lama, kami bersama dengan keluarga anggota pasukan udara mengungsi di pedalaman Gunung Lawu. Di situ saya menjaga keselamatan hidup keluarga pasukan, mengadakan makanan dsb. Sebagai satu-satunya orang Jepang di situ saya merasa bertanggungjawab maka walaupun merasa berat, saya terus mengurus segala kebutuhan tanpa istiharat.


Pada suatu hari, saya menerima informasi yang sifatnya setengah perintah bahwa katanya senjata disembunyikan di tambang tembaga Tirtomoyo yang dikelola tentara Jepang yang terletak di sisi Laut India, maka agar saya bersama-sama dengan 10 orang Indonesia mencari tahu lebih lanjut. Tidak mungkin saya menolak dengan berkata “Saya bukan prajurit”, sehingga berangkat dengan berat hati.

Namun demikian, dalam perjalanan terdapat pasukan invasi tentara Belanda , maka kami segera mundur untuk melihat situasi dan mengintai jalur ke arah tujuan. Rupanya kami tidak mungkin melanjutkan perjalanan, sehingga memutuskan untuk kembali ke pasukan semula.


Pada saat berjalan dengan menghindari jalan utama dan mencari jalan di pedalaman, kami dipersoalkan hansip di kampung yang membantu mengumpulkan tentara Jepang dan dibawa ke tempat kepala desa. Prajurit pasukan udara memberikan penjelasan tetapi entah sedang emosi akibat invasi Belanda, kepala desa tidak percaya saya orang Jepang, tetapi menuduh saya sebagai “mata-mata Belanda”. Saya mencoba membela diri dengan berkata “Salah paham sama sekali”, tetapi secara tegas dia tidak menerima argumen prajurit pasukan udara dengan berkata “Kami tidak pernah melihat orang dengan tampang seperti ini, baru muncul setelah Belanda datang, jadi pasti mata-mata Belanda”.


Tampang saya saat itu mungkin terlihat asing memakai jas kulit, kumis dan jenggotnya tumbuh tidak terawat, maka kepala desa menyimpulkan secara tegas saya adalah mata-mata Belanda. Lagipula saya datang dari Jawa Barat, maka orang-orang Jawa Timur tidak percaya kata saya, Tetapi tidak mungkin saya mengaku bahwa memang tampang saya pantas dicurigai, saya bingung dan melihat perkembangannya. Suasana semakin tidak kondusif dan pada saat saya mulai merasa resah, prajurit pasukan udara membisiki saya “Tuan, bahaya kalau tetap di sini, sebaiknya tuan melarikan diri dan kembali ke pasukan. Kami sesama orang Indonesia tidak perlu khawatir akan dibunuh.” Sesuai arahan mereka, diam-diam saya melarikan diri pada tengah malam, lalu saya melangkahkan kaki tanpa arah tujuan. Tetapi saya ditangkap kembali oleh pasukan pejuang kemerdekaan.


Saat itu saya sendirian, maka tidak dipercaya dengan penjelasan bagaimanapun. Ditodong senjata tajam dan dikelilingi beberapa prajurit, saya dibawa ke markas pasukannya setelah melalui bukit dan lembah.

Saat melewati tanjakan di jalan bukit yang menguras keringat, saya bertemu dengan satu pasukan Indonesia yang bersenjata. Karena jalan sempit, saya berhenti dan menunggu mereka lewat, terdengar panggilan saya dari barisannya, “Abdul Rosid”. Tak disangka dipanggil nama, saya merasa kaget tetapi saya tidak kenal orangnya. Sedangkan orang yang panggil saya adalah yang berada di pasukan udara dan mengenali saya. “Tuan, kenapa di sini”, dia tanya. Prajurit yang mengawal saya juga kaget dan bertanya “Apakah anda kenal orang itu?”. “Bukan hanya kenal saja, tapi dia adalah orang Jepang yang berada di pasukan udara di Solo dan betul dia bersama kami.”, dijawabnya sehingga prajurit yang mengawal saya akhirnya menerima hal tersebut.


Sebuah berkah, begitu merasa tenang, langsung saya merasa tidak takut berkata “Nah, betul bukan apa yang saya katakan. Sekalian saja kalian mengawal saya sampai kembali ke pasukan.”, begitu sombong saya menyusuh mereka supaya mengantar ke pasukan induk saya.

Setibanya di pasukan dengan kelelahan karena tidak makan dan minum beberapa hari, saya memasuki dapur untuk mencari makanan. Tetapi begitu melihat saya, rekan-rekan yang seharusnya mengenali saya kabur dengan menunjukkan rasa heran. “Kenapa? Saya, Abdul kok.”, teriak saya. Lalu mereka melihat saya dengan seksama, maka saya bertanya “Memangnya ada apa?”. “Ada kabar Tuan dibunuh, makanya kaget dikira hantu.”, mereka senang tahu saya selamat dan langsung menyiapkan makanan dan kopi untuk saya. Setelah merasa kenyang dan lega, rasa lelah menyelimuti diri saya, dan begitu berbaring langsung tertidur.

4-5 hari kemudian, rekan-rekan prajurit yang dicekal di tempat kepala desa kembali ke paskan berkata, “Kami menghadapi kesulitan karena kepala desa yang keras kepala itu tidak mau percaya dan tetap bilang dirimu mata-mata Belanda.". Demikian ceritanya mengenang sambil tertawa, tapi jujur pada saat ditahan saya merasa gelisah dan takut dibunuh setelah dibawa ke pedalaman gunung.

(bersambung)




53 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page